Minggu, 01 April 2012

asai usul nama jimbaran

Pada zaman dahulu, di daerah Bali bagian timur berdiri sebuah kerajaan yang diberi nama kerajaan Klungkung. Rajanya, Ida Dewa Agung Sri Ratu Dalem, sangat dicintai rakyatnya karena selama pemerintahannya, keadaan aman, tenteram, adil dan sejahtera. Raja mempunyai dua orang istri dan dua orang putra dari istrinya yang kedua. Ibunda kedua putra itu adalah Sri Ratu Dalem Putih dan Sri Ratu Dalem Ireng.
Semula, Baginda Raja Dewa Agung sangat mengasihi istrinya yang kedua dan putra-putranya yang lucu. Namun, setelah Dalem Ireng mulai belajar berdiri dan melangkah, sikap Dewa Agung berubah. Dewa Agung sangat membenci kedua putra dan istri keduanya. Sebaliknya, Dewa Agung sangat mengasihi istrinya yang pertama, padahal permaisurinya itu tidak melahirkan seorang putra pun.
“Paman Patih!” kata raja pada suatu pagi kepada patihnya yang setia. “Usir istriku yang kedua bersama putra-putranya! Aku benar-benar benci melihat wajah mereka.”
Patih yang terheran-heran melihat sikap rajanya yang aneh itu, mula-mula menolak perintah itu. Akan tetapi, sebagai seorang abdi raja, apalagi di bawah ancaman, terpaksalah ia menjalankan perintah yang tidak berprikemanusiaan itu. Patih itu menyadari bahwa sikap raja yang berubah mendadak itu karena pengaruh permaisuri, namun ia tidak berani mengutarakan pendapatnya. Memang sejak lama permaisuri yang tidak berputra itu sangat takut kekuasaan raja yang akan diwariskan kepada putra istri kedua. Sebelum hal itu terjadi, Permaisuri berusaha mempengaruhi pikiran raja untuk menyingkirkan istri kedua bersama putra-putranya. Dengan demikian, kekuasaan tetap dipegang Dewa Agung dibawah kendali sang permaisuri.
Hari itu juga sang patih mengiringi kedua putra dan ibunya keluar istana. Seluruh warga istana menangis melihat kepergian mereka, apalagi melihat sang ibu dengan susah payah menggendong Dalem Ireng sambil menuntun Dalem Putih yang berjalan bertatih-tatih. D tengah-tengah hutan yang lebat, patih utusan raja itu melepas keluarga yang malang itu dengan perasaan iba.
Siang malam, keluarga yang terbuang itu meratapi nasibnya. Entah kutukan apa yang menimpanya sehingga harus menerima nasib yang pahit itu. Dalam terik kepanasan, kehausan dan kelaparan, sang ibu mengajak putra-putranya beristirahat di bawah pohon yang tindang. Dekat pohon itu berdiri sebuah pura, namanya pura Dalem Klotok. Di depan pura itu, sang ibu berdoa agar Yang Mahakuasa memberikannya kekuatan dan perlindungan.
Berhari-hari lamanya, keluarga itu didera penderitaan. Mereka berpindah-pindah tempat, mencari buah-buahan yang dapat dimakan. Sang ibu yang selalu menggendong Dalem Ireng dan kadang-kadang juga harus menggendong Dalem Putih, makin lama makin kehabisan tenaga. Apalagi ia harus memetikkan buah-buahan untuk kedua putranya. Ditengah keputusasaan, pada suatu fajar menyingsing, sang ibu terpaksa meninggalkan putranya yang lebih besar.
“Semoga Dalem Putih dapat mengatasi dirinya sendiri,” katanya sambil menangis meninggalkan putranya yang sedang tertidur lelap.
Pagi itu, setelah matahari terbit, Dalem Putih terbangun. Didapatinya ibu dan adiknya tdak berada di sampingnya. Di tengah rasa takut, ia memanggil-manggil ibunya. Kemudian di tengah hutan yang lebat itu, ia mencari-cari jejak ibunya sambil menangis meraung-raung.
“Ada apa anak kecil?”
Tiba-tiba dari balik pohon muncul seorang tua. Anak itu bertambah takut. Sambil menangis, ia beranjak lari.
“Jangan takut, anak kecil! Namaku Dukuh Sakti. Aku sedang bertapa di hutan ini,” kata orang tua itu setelah berhasil menangkapnya.
Dalem Putih pun digendongnya menuju pondoknya.
Betapa senangnnya Dukuh Sakti ditemani Dalem Putih. Anak kecil itu sangat disayanginya. Dukuh Sakti sangat bersyukur mendapatkan seorang anak lelaki yang cerdas, rajin dan tabah.
Dalem Putih sangat dipercaya untuk mewarisi segala ilmu Dukuh Sakti. Bermain silat, bermeditasi, membaca mantra dan segala macam ilmu pengobatan dalam waktu singkat telah dikuasai oleh Dalem Putih.
Setelah dewasa, Dalem Putih benar-benar telah mendapat bekal ilmu yang lengkap. Namun, rupa-rupanya yang Mahakuasa harus memisahkan kedua orang berilmu itu. Menjelang ajalnya, Dukuh Sakti berpesan kepada muridnya yang sudah dianggap anak itu.
“Anakku! Setelah tiba saatnya, Yang Mahakuasa memanggilku, pergilah kamu ke arah barat daya. Tinggallah di daerah sekitar pura Uluwatu. Amalkanlah ilmu yang telah kau kuasai itu kepada orang-orang yang memerlukan!”
Dengan berat hati, Dalem Putih harus meninggalkan pondok Dukuh Sakti yang telah tiada. Baginya pondok itu merupakan sebah asrama yang telah memberinya pendidikan yang sempurna. Apa boleh buat, ia harus menaati petunjuk guru sekaligus orang tuanya. Setelah melewati hutan-hutan yang lebat, jurang, sungai, dan bukit, akhirnya lelaki yang tabah itu sampai di daerah Uluwatu, ujung selatan Pulau Bali. Di sanalah ia memulai hidupnya yang baru, membabat hutan yang lebat dan mendirikan sebuah pondok.
Kehadiran Dalem Putih di daerah yang baru itu segera terdengar oleh penduduk di sekitarnya. Lebih-lebih setelah mengetahui Dalem Putih adalah seorang dukun yang sakti. Sudah berpuluh-puluh orang yang sakit keras tertolong olehnya.
Pemuda tampan itu bukan saja dikenal berilmu, tetapi juga sopan, rajin dan baik budi kepada setiap orang. Banyak gadis cantik yang tertarik kepadanya. Akhirnya, ia pun menikah dengan seorang perawan yang paling cantik di daerah itu.
Pada suatu hari, seorang pemuda singgah di pondok Dalem Putih. Kebetulan, Dalem Putih sedang mencangkul di kebun. Tamu itu hanya disambut istrinya.
“Maaf, suami saya sedang bekerja di kebun. Kalau Jero tidak keberatan, tunggulah sebentar,” kata yang istri dengan ramah.
Istri Dalem Putih pun menjemput suaminya ke kebun.
Istri Dalem Putih mengira tamu itu adalah seorang miskin yang sakit. Badannya kurus, matanya sayu, dan pakaiannya kumal dan compang-camping.
Ketika suami-istri itu kembali ke pondok, tamu yang aneh itu tidak ada lagi. Dalem Putih curiga, jangan-jangan pemuda itu adalah seorang pencuri, Ternyata dugaan mereka benar.
“Kurang ajar!” bentak Dalem Putih setelah melihat dapurnya berantakan dan makanan yang dihidangkan istrinya ludes. “Tamu kurang ajar itu bukan saja mencuri, tetapi berniat jahat pada kita,” sambungnya seraya berlari mengejar pemuda tak diundang itu.
Di sebuah tikungan, Dalem Putih berhasil menangkap pemuda itu.
“Hai, pemuda kurang ajar! Apa maksudmu mempermainkan aku?” kata Dalem Putih marah-marah
Pemuda itu bukan minta maaf, tetapi balik memukul Dalem Putih. Dalem Putih tidak dapat menahan amarahnya, lalu balas memukul pemuda kurus itu. Terjadilah perkelahiaan yang sengit. Baku hantam, gumul-menggumul, dan saling tindih. Tidak ada tanda-tanda pemuda kurus itu akan menyerah, malah bertambah garang.Tanpa mereka sadari kedua pemuda ang seddang bergumul itu berguling-guling ke jurang yang dalam, lalu tersangkut di semak belukar.
“Siapa kau?” tanya Dalem Putih kepada lawannya setelah sama-sama tidak mampu melepaskan pukulan.
“Ibuku memberi nama aku Dalem Ireng. Dan siapa kau?” pemuda kumal itu balik bertanya
Dalem Putih kaget, lalu segera memeluk pemuda yang kurus itu.
“Aku kakakmu, Dalem Putih,” kata Dalem Putih sambil mencucurkan ait mata.
Kedua pemuda yang terpisah sejak kecil itu bertemu dalam pelukan yang berbahagia dan saling merindukan. Namun pertemuan itu harus berakhir dengan perpisahan pula. Dalem Ireng yang biasa hidup mmengembara tidak mau tinggal bersama-sama kakanya. Ia merasa berbahagia hidup dalam petualangan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Adapun Dalem Putih, atas permintaan penduduk, memilih tetap tinggal di daerah baru itu. Berhari-hari mereka bergotong royong membuka hutan belantara di sebelah utara pura Uluwatu. Daerah yang baru dibuka itu sangat luas, seperti sebuah daratan yang terhampar dan terapit latu di kiri-kanannya. Daerah yang terhampar luas itu diberi nama Jimbaran, berasal dari kata jimbar yang berarti ‘luas terhampar’.
Sekarang, desa Jimbaran telah menjadi objek wisata yang dihiasi hotel-hotel berbintang.
Sumber : http://obaketalk.blogspot.com/2011/01/asal-mula-desa-jimbaran.html
Pencarian :,, sejarah jimbaran, sejarah desa jimbaran

Sejarah Desa Jimbaran

Sejarah, Desa, Jimbaran
Menurut para informan sejarah munculnya nama Desa Jimbaran dan nama-nama tempat serta nama-nama pura yang ada di Desa Jimbaran terdapat dalam beberapa catatat tertulis, diantaranya dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan milik Nyoman Bagia sebagai Jro Mangku Gede di Pura Sarin Bwana pada halaman 12a-17b yang diterjemahkan secara bebas berikut ini:
Pada zaman pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten di Bhadahulu, selamat sejahtera Negara Bali, sebab beliau selalu menjalani tapa berata semadhi sejak kecil, maka itu beliau disebut Sri Tapa Hulung, bagaikan sanghyang Wisnu kenyataan, kuat dan taat dalam memerintah, itu sebabnya beliau diberi sebutan Sri Batu Ireng, juga kakak beliau bernama Sri Batu Putih, karena beliau selalu menjalani hidup suci, bertempat tinggal di Jimbarwana, menjalani tapa berata semadhi, mencari kebenaran sesungguhnya, selanjutnya diceriterakan beliau Sri Batu Putih yang telah lama berpisah dengan saudaranya, yang menjadi raja di Badhahulu, setelah lama memegang tahta kerajaan, ingat beliau Sri Batu Ireng dengan kakaknya yang bernama Sri Batu Putih yang ada di Jimbarwana, oleh sebab itu beliau mengikuti jejak perjalanan kakaknya, lantas menuju ke Jimbarwana, namun beliau berdua sama-sama tidak tahu akan rupa wajahnya, karena saking lamanya beliau berpisah, setelah Sri Batu Ireng sampai di puri Sri Batu Putih, bertemu dengan istri beliau Sri Batu Putih, dan langsung menuju dapur, membuka persiapan hidangan untuk beliau Sri Batu Putih, maka setelah itu berkata Sri Batu Ireng kepada seorang istri, Ah, Ah, kamu seorang istri, saya bertanya kepadamu, dimana kakakku Sri Batu Putih sekarang, silahkan beritahu aku, karena sudah lama aku tidak bertemu, menjawab sang istri, baiklah yang baru datang, beliau Sri Batu Putih ada di mal (kebun) sedang memeriksa tetanaman, baru demikian tanpa berterima kasih beliau Sri Batu Ireng, terus menuju kebun, setelah sampai dan melihat-lihat kebun itu, kagum beliau dengan tanaman disana, setiap tanaman tumbuh dengan subur, lebat, itu sebabnya, ditempat beliau Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, bernama Sarining Bwana, karena dari tempat beliau memohon muncul Sarin Bwana, begitu ujar beliau Sri Batu Ireng, karena tidak ketemu dengan kakak beliau di kebun, pastilah beliau lewat berlainan arah, tidak lama setelah Sri Batu Ireng keluar dari puri, beliau Sri Batu Putih sudah tiba di Purinya, lantas berkata istri beliau sambil menangis, memberitahukan tingkah polah sang tamu, tinggi besar, hitam warna kulitnya, acak-acakkan bagaikan seorang raksasa, membuka hidangan baginda di dapur, demikian diberitahukan oleh sang istri, tak disangka marah besar beliau Sri Batu Putih, seraya mengambil Gandawa (busur) dan mencari Sri Batu Ireng, yang disebut raksasa itu, karena pakaiannya urak-urakan datang ke Jimbarwana, tak berapa lama berkelahi beliau berdua, berkelahi habis-habisan, sama-sama tangguh dalam perkelahian, saling seruduk, saling menekan, namun tak ada yang berdarah, karena sama-sama sakti beliau berdua, saling kejar, menyelinap beliau Sri Batu Ireng, tiba di sungai, mengaso sekejap disana, karena ditebing beliau bersembunyi, berkata beliau, semoga sungai ini kelak bernama Batumabing, tak begitu lama dikejar oleh Sri Batu Putih, lagi berkelahi tak henti-hentinya, lari beliau sang raksasa bersembunyi di goa batu, tak begitu lama datang Sri Batu Putih, lari beliau Sri Batu Ireng, berujar beliau Sri Batu Putih, semoga kelak disini dibangun pura bernama Pura Batumagwung, kemudian direbut sang raksasa itu oleh rakyat beliau Sri Batu Putih, namun berhasil beliau menyelinap, berkata beliau Sri Batu Putih, semoga kelak tempat ini dikemudian hari bersama Sekhang, artinya beliau Sri Batu Ireng direbut oleh rakyatnya Sri Batu Putih Jimbaran, menghilang wajah beliau sang danawa namun Sri Batu Putih tidak bisa dihapus, ketahuan wajahnya, berkata beliau, semoga kelak ditempat ini dibangun pura bernama Pura Muaya, seketika itu marah beliau Sri Batu Ireng, kembali terjadi perang tanding mereka berdua dengan sangat dahsyat sekali, saling pukul dada, sama-sama memakai tipuan, berhamburan tanahnya, sama-sama perkasa sampai lemah lunglai mereka berdua, tak ada yang kalah, sama-sama menyelinap, karena perang tanding itu bagaikan pergumulan sanghyang kala-kali, dikemudian hari semoga tempat ini bernama Kali, setelah dapat bernafas sejenak, beliau Sri Batu Putih memerintahkan pasukannya untuk menghadang langkahnya sang raksasa, akhirnya bertemu beliau sedang membuka cecepan (tempat tembakau), lagi dikejar raksasa itu berjalan ketengah kabut, lesu berhangsur-hangsur nafasnya naik, setelah ketemu ditempat dimana bersembunyi memijit dan mengusa-usap kakinya, berkata beliau Sri Batu Putih, kelak semoga dikemudian hari, tempat menghadang sang raksasa menjadi tempat bernama Tambak, tempat dimana beliau membuka tembakau bernama Sesepan, tempat nafas tertatih-tatih bernama Ungah-ungahan, dan tempat mengusap-usap kaki bernama Gaing-gaingan, setelah payah mereka berdua dan duduk ditanah dan berujar salah satunya, berkata Sri Batu Putih, Hai kamu raksasa, siapa kamu, dari mana, sakti tak tertandingi, tak bisa dikalahkan kamu, apa maksud kamu datang kemari, kasih tahu aku, Om, Om, Om, sang maha sakti, aku bergelar Sri Batu Ireng, dari Badhahulu, datang kemari hendak bertemu kakakku, yang bernama Sri Batu Putih, Om, Om, Om, aduh adikku aku Sri Batu Putih, seketika itu kaget beliau berdua, berpelukan, bergulingan ditanah, karena saking bahagianya beliau berdua, dan disambut oleh seluruh pasukan dan rakyatnya, berujarlah beliau berdua, semoga kelak disini dibangun pura bernama Ulun Swi, sebagai tonggak pertemuan dengan sanak saudara, demikian selesai. Dengan demikian nama desa Jimbaran berasal dari kata Jimbarwana (hutan luas) karena perkembangan jaman dan sesuai dengan bahasa setempat menjadi Jimbaran.
Disamping itu nama Jimbaran juga terdapat dalam Prasasti Dhalem Putih Jimbaran, Dhalem Putih menurunkan putra Dhalem Petak Jingga yang membangun Pura Ulun Swi, Pura Kahyangan Pangulun Setra, Pura Dukuh serta keturunan yang memangku parahyangan (tempat suci) tersebut, diterjemahkan oleh tim (2005 : 3) berikut:
Alkisah Sri Ratu Dalem mempunyai dua (2) orang putra masing-masing bernama Dhalem Ireng (Putra Sulung) dan Dhalem Putih (Putra Bungsu).
Dalem Putih membangun Pasraman di wilayah telajakan Uluwatu, telah lama beliau bermukim dalam Pasraman / Pondok tersebut, tidak disangka-sangka datang seorang yang tidak dikenalnya (Dhalem Ireng) langsung masuk ke dalam pondok menuju tempat hidangan yang telah disiapkan sebelumya serta langsung membuka, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kearah barat laut. Tiada berselang beberapa lama datanglah Dhalem Putih hendak menikmati hidangannya, Dhalem Putih mengetahui bahwa hidangan / makanannya telah dibuka oleh orang yang tidak dikenalnya, lalu Dhalem marah seketika mengambil senjata pusaka dan langsung mencari jejak orang yang dicurigai.
Dhalem Putih dengan segera dapat menjumpai orang tersebut tanpa sepatah katapun langsung menikam / menyerang dengan keris pusaka didada lawannya. Senjata Dhalem Putih tidak mampu mengalahkan, kemudian terjadilah tikam menikam silih berganti, ternyata keduanya sama-sama sakti mandraguna, sama teguhnya serta tidak termakan oleh senjata dalam apapun sehingga dalam perkelahian tersebut tidak ada yang kalah dan menang.
Perkelahian semakin seru, semakin dahsyat sehingga binatang-binatang dalam hutan berkeliaran lari tanpa tujuan. Tak seorangpun mengetahui, akhirnya perkelahian itu berhenti dengan sendirinya karena sama-sama payah dan kemudian dilanjukan dengan pergulatan yang lebih seru. Pada suatu saat, perkelahian berhenti kemudian saling bertanya dan masing-masing menyebutkan nama orang tuanya. Ternyata lahir dari orang tua yang sama atau dengan kata lain mereka bersaudara kandung. Dengan berakhirnya perkelahian tersebut (Dhalem Ireng dengan Dhalem Putih) maka mereka menamakan tempat perkelahian itu “Desa Kali”, yaitu suatu daerah tempat mereka perundingan. Kali merupakan sungai kecil yang saat ini masih ada.
Dalam lanjutan ceritera / kisah ini, Dhalem Ireng tidak disebutkan lagi dan selanjutnya Dhalem Putih yang memegang peranan penting dalam sejarah. Dalam hutan yang luas, Dhalem Putih bermukim sampai beliau menurunkan seorang putra yang bernama Petak Jingga, beliau menyadari bahwa dalam hutan yang sangat luas hanya tinggal seorang diri tanpa ada penghuni lainnya, sehingga bersamaan dengan kelahiran putra beliau tersebut, hutan itu diberi nama “Jimbaran” Asal Kata “Jimbar” yang artinya luas, dimana penduduknya tidak ada saat itu.
Kemudian beliau (Dhalem Putih) menciptakan membangun beberapa parahyangan, antara lain:
1. Meru Tumpang / Tingkat sebelas yang disebut Pura Ulun Swi, dimana pada waktu itu I Gusti Tegeh Kuri sebagai pemangkunya.
2. Kahyangan Ulun Setra yang sekarang disebut Pura Dhalem Kahyangan, I Gusti Celuk ditunjuk sebagai pemangkunya.
3. Meru Tumpang / Tingkat Tiga serta Paibon (kumpulan dadia) yang bernama Pura Dukuh dan Pasek Kusamba sebagai pemangkunya. (Team, 2005 : 3).
Nama Desa Jimbaran juga terdapat dalam Purana Pura Pucak Kembar disalin oleh I Ketut Sudarsana dalam Bahasa Indonesia berikut:
Sekarang dceritakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu beliau bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan nafsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya: siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demkian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu beliau berhenti menyantapnya, lalu beliau bertanya: Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku beliau kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang, dengan segera Dhalem Ireng menuju tempat pegagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang beliau sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maafkan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasannya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tesebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja, mendengar hatur si dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali ke tempat pegagan, hal kian sampailah pada tempat pegagan dan bertemu dengan Dhalem Ireng, karena saking emosionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjata keris, saling tusuk, namun keduanya tidak ada yang terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama-sama kepayahan, dalam pada itu beliau berdua saling tegur sapa, siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal usul dan pesan Ki Lembu Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu: Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Kateggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah beliau menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri, sehingga suasana berubah dari tegang menjadi terharu, sama-sama menceriterakan pengalaman masing-masing. Akhirnya Dhalem Ireng berkata kepada kakaknya Dhalem Sweta: Ya kakakku Dhalem Sweta, banyak sekali kakanda memberikan nama desa dan yang terakhir kanda berada di desa Jimbaran, sudah seyogyanya kanda disebut Dhalem Putih Jimbaran, sekarang ijinkan saya mohon pamit, sayapun juga berniat memberikan nama suatu tempat atau desa yang bercirikan watu, yang merupakan ciri bahwa aku pernah melintasi daerah tersebut. Dan ijinkan adinda menuju kearah utara, kalau demikian baiklah, namun kanda mohon tempat kita berperang tadi kita namakan Bukit Kali.
sejarah desa jimbaransejarah jimbaranDESA JIMBARANSEJARAH PURA PUCAK KEMBAR,sejarah jimbaran baliSejarah desacerita rakyat jimbarandukuh jimbaransejarah desa di balidesa jimbaran di baliBaca juga:

Jumat, 30 Maret 2012

Bubarkan Pawai Ogoh-Ogoh, Ditangkap Penyebar Isu Bom

Bubarkan Pawai Ogoh-Ogoh, Ditangkap Penyebar Isu Bom

Jumat, 23 Maret 2012

Isu Bom Bubarkan Pawai Ogoh-Ogoh

ilustrasi - v/g: yan andie
KUTA - Isu bakal terjadinya aksi pemboman di wilayah Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (22/3) malam, membuat bubar pawai ogoh-ogoh yang dilaksanakan di wilayah tersebut.

"Saya mengetahui ada isu itu saat akan menonton pawai ogoh-ogoh di Kedonganan. Tiba-tiba rombongan ogoh-ogoh berbalik arah karena mendengar adanya isu bom," kata Ayu, salah seroang warga Jimbaran saat dihubungi dari Kuta, Bali.

Ditangkap Penyebar Isu Bom

KUTA - Penyebar isu bom yang menyebabkan bubarnya penyelenggaraan pawai ogoh-ogoh di Kedonganan, Jimbaran, Bali, ditangkap oleh warga dan aparat kelurahan setempat, Kamis (22/3) malam.

"Tadi saya mendapatkan informasi jika pelaku penyebar isu bom tersebut telah diamankan," kata Ayu warga Jimbaran yang dihubungi dari Kuta.

Dia memastikan bahwa informasi mengenai aksi pengeboman di wilayah tersebut hanyalah isu yang tidak bisa

Selasa, 27 Maret 2012

JIMBARAN OGOH OGOH



Ceremonie at the Jimbaran Beach 


During our journey we were asked again and again, how long we would stay on Bali. When we said our departure date is the 13. April 2002 the people congratulated us, because we would be able to see the largest and most spectacular celebration, the New Year celebration, called Nyepi. We were already very curios on which we would expect there.
One of our daily beach walks, we heard, that already 2 days before the New Year celebration a large ceremony will take place in the late afternoon in honours of the sea-goddess. Of course we wanted to see this event. By the way festively dressed women and girls came with their offering baskets, balanced on there head, to the beach and we already thought that this is the beginning of the ceremony. But more and more people came to the beach.
A young Balinesian woman explained us, that we could take part at any time the celebration, if we were correct dressed with Sarong and temple scarf. Unfortunately we had no more time to go back at the hotel to change our dresses into the correct way, because in the meantime, the ceremonies had already begun. She offered us, to fit us out with her own clothes and we went home with her to dress the Silk sarong and the Sarong of her father with temple scarf. So we could now take part at the celebration like Balinesian people. A very great, unforgettable experience.
back to top of the page
Ceremony, Jimbaranbeach
Ceremony, Jimbaranbeach  Ceremony, Jimbaranbeach  Ceremony, Jimbaranbeach
Ceremony, Jimbaranbeach  Ceremony, Jimbaranbeach
back to top of the page
Ceremony, Jimbaranbeach  Ceremony, Jimbaranbeach
Ceremony, Jimbaranbeach  Ceremony, Jimbaranbeach
Ceremony, Jimbaranbeach
back to top of the page
Also the New Year celebration was, as announced, a great funny event. On New Years Eve there is a kind of Carnival parade in all places of Bali, with enormous Demon figures (Ogo Ogo). They are carried, with much noise and music out of the villages, because together with the Demons, the bad influences go away, too. The Fantasy by building the Figures are no borders set. Young and old people take part with big enthusiasm. Punctually at midnight is the whole event over.    
Ogo Ogo  Ogo Ogo
  Ogo Ogo
back to top of the page
Now it begins the “silence or quiet day”. Starting from this time up to the next day midnight is absolute silent in whole Bali. No public life, the airport is closed, no taxis, the families stays in their houses, no lights are switched on, no candles burn and every behaves quietly, so that the spirit of the bad Demons do not find back again. Also the tourists must accept it and must stay in the hotels, also entering the beach is permitted. For us it was an unbelievable, grandiose experience.
  
Guestbook             Bali             Travelogues             HOME